Aku seorang pria 34 tahun penganut SADOMASOCHIS, yang selalu mengangankan pengalaman diikat, disiksa, diperolokan, dipermainkan, Cross-Dressing, dan sebagainya. Serta berharap pada suatu ketika kelak dapat mewujudkannya dalam kenyataan. Bagi pembaca yang ingin berkomentar/membantuku mewujudkannya dalam dunia nyata dapat menghubungiku melalui kontak email. Fantasiku antara lain sebagaimana yang akan kuceritakan berikut ini, maka selamat menikmati!
"Nah, sekarang permainan kita mulai. Lepaskan seluruh pakaianmu!" perintah wanita cantik bergaun kulit warna hitam tersebut. Dia tampak begitu perkasa. Jantungku berdebar membayangkan kenikmatan yang segera akan kurasakan. Kulepaskan baju dan celanaku. Batang kemaluanku mulai menegang. "Semuanya!" hardiknya ketika melihatku masih menyisakan celana dalam yang kukenakan. Debaran jantungku kian kencang. Kini tampillah aku apa adanya, bagaikan bayi dewasa, bugil sama-sekali, sementara itu si "kecil" sudah benar-benar tegang, dan dia tertawa melihatnya. "Ha, ha, ha.. sudah enggak sabar, ya? Aku tertunduk malu.
Sesuai kontrak dan skenario yang telah disepakati, aku akan melayani segala kebutuhannya sepanjang malam ini hingga pagi nanti. Aku akan menjalankan segala perintahnya tanpa perdebatan. Dia memiliki diriku seutuhnya. Dia berhak melakukan apapun terhadap diriku, dan aku kehilangan hak sama sekali terhadap diriku. Aku tidak akan melakukan apapun berkaitan dengan tubuhku tanpa perintahnya. Pengendalian terhadap diriku sepenuhnya berada di tangannya. Diriku tidak lebih sekedar benda-benda milik pribadinya yang dapat dia perlakukan sesukanya.
"Baguuss..! Sekarang kamu menjadi budak saya, benar?" tegasnya. Aku mengangguk. "Benar tidak?" hardiknya memastikan. "I, i, iya.." jawabku terbata-bata. Walaupun keadaan ini memang kudambakan, namun tetap saja ketegangan mencekam hatiku, menduga-duga segala kemungkinan yang akan menimpaku; sungguh mendebarkan. "Iya apa?" bentaknya. "I.. Iya Nyonya!" sahutku segera. "Kamu siapa?" "Sa-saya budakmu, Nyonya." "Sayyaa..?" tanyanya sinis. "Ham, Hamba, Nyonya!" sahutku dengan perasaan menyesal. "Bagus..!" Senyum kemenangan membayang di wajahnya. "Apa yang akan kamu kerjakan?" "Apa saja, asal dapat menyenangkan Nyonya." "Hmm.., bagaimana?" Senyumnya menggoda. "Terserah Nyonya. Perintahkan apa saja, pasti akan hamba kerjakan." "Ha, ha, ha, ha, ha.. Baiklah.." Berhenti sejenak, lalu lanjutnya, "Kita mulai dengan perlengkapanmu dulu. Ambil peti itu!" perintahnya sambil menunjuk ke sebuah peti yang terdapat di sudut ruangan.
Aku segera melangkah dan mengangkatnya ke hadapan wanita itu. Dia menyuruh aku membuka dan mengeluarkan seluruh isinya. Dari dalam kotak itu aku mengeluarkan beberapa gulung tali-temali, rantai, borgol, kekang leher, penjepit jemuran, lakban, cambuk, dan sebagainya. Degup jantungku serasa menghentak-hentak membayangkan kenikmatan yang segera akan dihadiahkannya.
Disuruhnya aku telungkup. Lalu dilipatnya kaki kananku. Dengan seutas tali diikatnya pergelangan kakiku menyatu ke pangkal paha; begitu juga dengan kaki kiriku. Ikatan ini begitu ketat, sehingga tidak memberikan ruang gerak sedikitpun antara pergelangan dan paha, benar-benar menyatu rapat. Kemudian dia meyuruhku duduk, lalu merapatkan jari-jari tanganku untuk kemudian dibelit dengan lakban, sehingga telapak tanganku tak dapat dimekarkan. Diambilnya kekang leher yang terbuat dari kulit dan dibelitkan ke leherku. Masih belum puas, dipungutnya 2 jepitan jemuran yang terangkai menjadi satu oleh seutas rantai.
"Aduh!" jeritku ketika jepitan pertama menjepit dada kiriku, persis di bagian pentilnya yang sangat kecil. Kengerian bercampur nikmat tergambar di wajahku saat dia mulai mengarahkan penjepit kedua ke dada kananku. "Aduuhh.. akkhh.. hh..!" erangku, sakit tapi nikmat. Dia menyeringai puas melihat penderitaanku. Beberapa saat dipermainkannya rantai penghubung kedua jepitan tersebut; ditarik-dilepaskan; yang tentu saja tambah menyakitkan dadaku. Kukatupkan erat kedua rahangku menahankan rasa perih yang kian menusuk, mengimbanginya dengan semakin memusatkan pikiran pada sensasi kenikmatan yang menyertai. Seringainya makin lebar, kedua matanya tampak berbinar-binar. Sesekali disorongkannya wajahnya dan menjulurkan lidah menggesek dadaku di sekitar alat penjepit itu.
"Ahh.. nikmatnya!" pikirku.
Tak lama kemudian rasa perih mulai mereda, tampaknya tubuhku telah mulai dapat menyesuaikan diri dengan kondisi ini. Kemudian dengan sebelah tangan digenggamnya batang kemaluanku yang telah tegang sejak tadi dan perlahan dikocoknya. Ujungnya sudah mulai basah. Diusap, lalu dia mengarahkan tangannya ke wajahku. Aku segera menyambutnya dengan membuka mulut dalam posisi siap untuk mengemutnya. Namun dia hanya mengoleskannya saja ke bibirku. Bibirku terasa lengket. Diusapnya lagi ujung kemaluanku, dan kembali membawanya ke mulutku. Kali ini tanpa buang-buang waktu segera saja kuterkam telunjuknya dan mengemutinya dengan penuh nafsu; menikmati cairanku sendiri.
"Ha, ha, ha, ha, ha, ha, ha..! Aduuh, enggak sabar, ya? Enaknya, produksi sendiri, lagi?" Aku mengangguk berulang-ulang. Tawa cemoohannya menderai. Kembali dia mengambil cairan itu dan ketika aku kembali menerkam, dia menarik tangannya. "Jangan!" bentaknya melarang. Aku segera menghentikan gerakan dan menatapnya dengan agak kecewa. "Tidak boleh diemut, jilat seperti makan es krim!" tegasnya. Aku menuruti, dan dia kembali tertawa-tawa.
Setelah itu dia melangkah ke arah ranjang, dan duduk di pinggirnya. "Bawa kemari cambuk itu!" sambil menunjuk rantai yang tergeletak di samping peti di dekatku. Aku diam, tak mengerti. "Ambil dengan mulutmu, lalu bawa kemari!" Kurendahkan wajahku dan mengarahkan mulut memungut cambuk kulit yang dia maksudkan. Lalu aku merangkak mendekati ranjang. Dia diam saja. Kusorongkan mukaku mendekati telapak tangan kanannya. Dia tersenyum dan membuka telapak tangannya. Kulepaskan jepitan bibirku, sehingga cambuk tersebut bergulir ke telapak tangannya.
"Pintar sekali, rupanya kamu cepat mengerti. Melihat caramu kemari tadi, aku teringat pada sesuatu, kamu tahu, kan?" Aku agak ragu dengan maksud ucapannya. "Itu loh.. yang jalannya seperti kamu tadi ituu.. Kalau enggak salah seekor binatang, apa yaa..?" Jantungku kembali berdebar. Aku paham benar, dia sedang mengolok-olokku. "Hei, apa namanya, jawab!" bentaknya. "Aaa.. ann.. anjing, Nyonya." jawabku terbata-bata sambil menundukkan kepala. "Ohh iyaa.. benar juga, anjing yaa?" tegasnya. Senyumnya terasa menyakitkan. "Jadi yang begitu itu namanya anjing, ya?" "Benar, nyonya." "Kalau begitu kamu siapa?"
Jantungku kian berdebar. Begitu hinakah diriku? Perih sekali hati ini. Aku hanya menunduk tak mampu menjawabnya. Tiba-tiba TAR! Lecutan cambuk mendera badanku, "Jawab!" TAR! TAR! "Am.. ampun, Nyonya!" aku mengangkat tangan berusaha mencegahnya, tapi dia malah semakin kalap, TAR! "Kamu siapa, jawab!" TAR! "Aaa.. anjing, Nyonya! Anjiing!" jawabku. "Apa!" "Anjing, Nyonya?" "Siapa?" Bentakannya kian tinggi. "Hamba, Nyonya." TAR! "Jawab yang lengkap! Siapa yang anjing?" "Hamba, Nyonyaa.. hambaa.." jawabku memelas. "Hamba yang anjing." "Coba ulangi!" nadanya mengancam. "Hamba anjing." "Lagi!" makin tinggi nada suaranya. "Hamba anjing, hamba anjing, hamba anjing, hamba anjing, hamba.." jawabku berulang-ulang tanpa berani berhenti sebab tangannya sudah terlihat hendak kembali mengayunkan cambuk itu.
"Baguuss, itu baru pintar namanya! Tapi anjing kok bisa ngomong, ya? Kayaknya anjing enggak bisa ngomong, deh, benar enggak!" Aku kebingungan. "Anjing bisa ngomong, enggak?" ulangnya. "Eng.. enggak, Nyonya!" sahutku. "Lho, kok ngomong lagi?" Aku makin bingung, ditanya tapi disalahkan ketika menjawabnya. "Anjing bisa ngomong enggak?" Aku menggeleng. TAR! Cambuknya turut bicara. "Heh, kamu anjing bisu, ya?" "Enggak, Nyonya, enggaak..!" "Kamu ini bodoh sekali sih?" TAR! TAR! Aku menggeliat-geliat menahan sakit. "Kalau kamu anjing, ya pakai bahasa anjing, dong?" "Oh begitu maksudnya," pikirku. Dengan ragu-ragu aku mencoba menyahutinya, "Guk.. guk.. guuk..!"
"Ha, ha, ha, ha.. pintar!" pujinya. "Mulai sekarang kamu menggonggong satu kali untuk iya dan dua kali untuk tidak, mengerti?" "Menger.." jawabanku terpotong melihat gerakan tangannya yang kembali akan mengayunkan cambuk. "Eh, maaf, eh.. guk! guk!" sahutku gelagapan. "Bagus! Kamu harus menuruti segala perintah dan menjawab seluruh pertanyaanku, mengerti?" "Guk!"
"Nah, sekarang kembali ke sana, dan ambilkan rantai itu!" Aku kembali merangkak ke arah peti, memungut seutas rantai dengan mulut dan kembali ke ranjang. "Kamu memang anjing pintar, pantas untuk dipelihara!" katanya sambil menerima rantai yang kusorongkan padanya dengan mulutku. Pada salah satu ujung rantai tersebut sudah terpasang kaitan, yang kemudian dia kaitkan pada ring yang terdapat di kekang leherku. "Makanya kamu harus dipasangi rantai supaya tidak ngabur, benar?" "Guk!" "Kamu senang, budak?" "Guk!" "Bagus..!" katanya sambil mengelus-elus kepalaku.
Tiba-tiba dia tangannya menekan ranjang hingga pantatnya sedikit terangkat dan lalu memerintahkanku melepaskan roknya dengan mulut. Aku menurut. Perlu perjuangan yang melelahkan untuk melakukannya. Selesai dengan rok, tiba giliran celana dalamnya. Dengan susah payah akhirnya aku berhasil juga melepaskannya. "Kemarikan!" Dia meminta celana dalamnya. Dengan mulut kupungut celana dalamnya dari lantai dan memberikannya pada Nyonyaku. Dia menerimanya sambil tersenyum dan lalu memasangkannya ke kepalaku bagaikan topeng. Bau pengap bercampur aroma kewanitaan segera menerobos penciumanku. Si kecil kian mengeras. Hasratku kian bergelora dirangsang oleh aroma celana dalamnya ini. Ditariknya rantai di leherku, sehingga kepalaku mendekati selengkangannya yang telah dia rentangkan lebar. Aku mengerti, dan mulai menjilati liang kemaluannya.
Dicondongkannya badannya ke belakang. Tak lama kemudian dia mulai menggelinjang kenikmatan. Sesekali terdengar desahannya, "Ahh.. aah.. aahh.. teruuss.. teruus.. aahh.. hh, teruuss.. ahh.." Dirundukkannya badannya, dan menarik rantai sehingga kepalaku mendongak ke atas. Sekarang ganti puting susunya yang kuhisap-hisap. Sesekali kuelus-elus puting itu dengan lidahku. Desahannya makin menjadi-jadi. Akhirnya dia tak tahan lagi. Direbahkan dan diperosotkannya badannya ke lantai dan menyuruhku segera menancapkan batang kemaluanku pada liangnya.
"Hah, hah, hah, hah, hah, hah.." Napasnya tersenggal-senggal. Tubuhnya bergetar keras, makin keras, napasnya semakin cepat, dan, "Ahh.. hhk..!" dia melenguh panjang setelah mencapai orgasme. Dia terbaring kelelahan beberapa saat, sementara aku tetap saja dalam posisi merangkak gaya anjing. Tak lama kemudian dia bangkit melepaskan celana dalamnya dari wajahku, mengusapkan pada kemaluannya, kemudian menggulungnya menjadi bola dan dimasukkan ke dalam mulutku. Rasa dingin dan aneh menyentuh lidahku. Dia beranjak ke lemari pakaian mengambil celana dalam pengganti dan memakainya. Lalu dipakainya kembali rok kulit ketat yang dikenakannya semula, kemudian melangkah ke arah peti dan mengambil lakban. Setelah itu dia kembali menghampiriku dan membelitkan lakban itu disekeliling kepala untuk mencegahku mengeluarkan celana dalamnya. Diambilnya seutas tali dan diikatkan pada batang kemaluanku. Tali itu melilit mulai dari pangkal batang terus hingga bagian kepalanya. Lalu rantai yang semula terhubung pada kekang leherku dilepaskan dan dipindahkan mengait tali pada bagian ujung kemaluanku. Ujung rantai yang sebelah dibelitkan pada pergelangan kaki kirinya.
"Saatnya untuk jalan-jalan!" katanya sambil mulai beranjak. Batanganku tertarik mengikuti ayunan langkahnya. Kini, kemanapun dia melangkah aku terpaksa merangkak mengikutinya. Sesekali langkah kaki kanannya agak dilebarkan sehingga menyentakkan batang kemaluanku, menimbulkan rasa ngilu, tapi aku menikmati semua itu. Semakin tak berdayanya diriku, semakin berbinar kenikmatan yang kurasakan. Aku harus gesit menuruti langkahnya, sebab jika tidak maka kemaluanku rasanya akan copot, belum lagi deraan cambuk yang dilecutkannya ke punggungku setiap kali aku agak tertinggal.
Tiba di dekat peti diambilnya segulung tali dan dimasukkan ke dalam saku roknya. Setelah berjalan-jalan mengelilingi ruangan beberapa kali, dia membuka pintu kamar menuju ke dapur. Diambilnya sebuah gelas dan sebotol air es dari kulkas, dan toples makanan kecil, lalu meninggalkan dapur menuju ke ruang tengah. Aku terus merangkak mengikuti setiap langkahnya.
Tiba di ruang tengah dia mengisi gelasnya, dan minum beberapa teguk, lalu gelas dan botol itu diletakkan di atas meja dekat kursi malas. Setelah menyalakan TV, dia duduk di kursi malas itu, mengayun-ayunkan diri, sementara aku bersimpuh di lantai di hadapannya dengan kedua tangan diluruskan sebagaimana seharusnya; beginilah aku, beginilah biasanya seekor anjing duduk menunggui tuannya. Aku telah diperintahkan untuk mengarahkan pandangan hanya menatap ujung jari kakinya. Dan aku menaatinya dengan penuh kepatuhan.
Sesaat kemudian dia menyentakkan kaki kanannya ke belakangnya, sehingga kemaluanku tersentak. Aku mengangkat muka untuk mengetahui maksud sentakannya, namun lecutan cambuknya membuatku teringat dan kembali menundukkan muka. Ditariknya kakinya ke belakang, sehingga aku bangkit dari duduk dan merangkak maju mendekati kakinya. Dia membungkuk melepaskan lakban yang membelit wajahku dan mengeluarkan sumpalan celana dalamnya dari mulutku. Setelah itu dilonjorkannya kaki kirinya ke arah wajahku. Aku paham, dan mulai menjilati ujung-ujung jari kakiya. Setelah semua jari selesai kujilati, didongakkannya pergelangan kakinya, dan aku melanjutkan menjilati telapak kakinya. Dia menyenderkan tubuhnya berayun-ayun di kursi malas sambil menonton TV, minum, mengunyah cemilannya sambil menikmati pencucian kaki yang sedang kukerjakan. Semua ini begitu menggairahkan bagiku. Dengan penuh kesungguhan kujilati setiap jengkal kakinya, terus ke punggung kaki hingga mata kaki. Selesai dengan kaki kiri, dia berganti menyodorkan kaki kanannya. Kuberikan pelayanan yang serupa. Setiap kali lidahku terasa mengering, kudecak-decakkan mulut untuk mengeluarkan air liur, lalu kembali menjilati kakinya.
"Sudah bersih?" tanyanya beberapa saat kemudian. "Guk!" jawabku mengiyakan. "Pintaar.. kamu haus, ya?" Aku tak menjawab. "Kamu haus, kan?" nadanya mulai mengancam. "Guk!" jawabku sambil bertanya-tanya dalam hati, "Apa lagi, sekarang?"
Dia mengambil botol air dari atas meja, dan menuangkan ke punggung telapak kakinya dan berkata, "Minum!" Aku menjilati aliran air dingin di kakinya. Dia tersenyum senang dan kembali menuangkan air, agak banyak hingga mengalir ke lantai dan aku memburu aliran air itu menjilati lantai. "Ha, ha, ha, ha.. cocok sekali! Kamu memang benar-benar anjing, koq!" ejeknya. "Guk!" "Enak, kan?" "Guk!" "Bagus, gonggong terus sambil jilat!" ujarnya sambil menuangkan kembali botol air itu ke lantai. "Guk.. Guk.. Guk.. Guk! Guk!" sahutku sambil terus menjilati lantai. Diambilnya cemilan dan diremasnya hingga hancur kemudian diburaikan ke lantai. Aku pun meraih serpihan-serpihan itu dengan lidahku dan memasukkannya ke mulut. Dia terus tertawa-tawa kesenangan dan aku kian menikmati penghambaanku.
Akhirnya setelah air di dalam botol terbuang habis, begitupun cemilannya, dia bangkit menuju pintu belakang. Aku terus merangkak mengikutinya. Dibukanya pintu, dinginnya angin malam segera menyapu tubuhku yang telanjang. Kemudian dia menyalakan lampu, dan tampaklah sebuah taman terbuka yang rimbun dibatasi dengan tembok tinggi. Dia menunjuk ke tengah taman. Aku mengarahkan pandangan ke tempat yang ditunjuknya. Ternyata di sana terdapat sebuah kandang besi berukuran 50 cm X 40 cm dan tinggi sekitar 50 cm. Jantungku berdegup keras, "Oh jangan, jangan di luar, jangan di kandang itu.." ratapku dalam hati sambil menduga-duga. Dia melangkahkan kaki menuju kandang, dan bagaikan mengerti pikiran yang terlintas di benakku, dia berkata, "Benar sekali! Sebagai imbalan atas sikap baikmu malam ini, Nyonyamu menghadiahkan sebuah rumah baru untukmu! Ha, ha, ha.."
"Ayo, nikmati rumah barumu ini," lanjutnya sambil terus mendekati kandang. "Coba lihat, ukurannya pas 'kan? Kamu pasti senang, benar kan?" "Guk!" sahutku tidak yakin. "Setiap anjing punya kandang, kan?" "Guk! ..Guk, Guk!"
Entah bagaimana perasaanku saat ini. Rasa terhina tentu saja ada, namun terselip suatu bentuk kegairahan yang mendebarkan. Aku langsung membayangkan betapa setidaknya untuk malam ini aku harus meringkuk di dalamnya hingga pagi, kuatkah, aku? Membandingkan ukuran kandang itu dengan tubuhnya, sudah pasti aku tidak akan dapat meluruskan tubuh. Kuatkah aku menahan rasa pegal yang sudah kurasakan sejak tadi hingga esok pagi nanti? Tapi, oh betapa aku belum pernah mengalaminya. Sepertinya asyik juga. Kutatap kemaluanku yang tetap tegang, bahkan kian keras. Jika saja tidak ada tali yang mengekangnya, mungkin sudah sejak tadi aku menyemprotkan sperma. Mendapatkan betapa tegangnya batang itu, aku menjadi tambah yakin bahwa ini akan terasa nikmat. Ohh.. betapa aku sangat ingin merasakan menghabiskan malam di dalam kandang di luar rumah, sebagaimana seharusnya seekor anjing sesuai dengan peranku malam ini.
Sesampainya di depan kandang, dilepaskannya jepitan jemuran yang telah sejak tadi menjepit pentil dadaku. Betapa sakitnya terasa ketika darah mulai mengaliri daerah yang terjepit tadi. Kemudian dia merogoh saku dan mengeluarkan gulungan tali yang dikantonginya sejak tadi. Dibuatnya simpul mati pada pergelangan tangan kananku, lalu melipat sikuku ke arah atas sehingga aku bagaikan sedang berusaha meraih pundak. Kemudian tali tadi dibelitkan pula pada pangkal lengan sehingga tanganku tertahan dalam posisi demikian. Lalu ujung tali tersebut dia alirkan melalui ring yang terdapat di bagian belakang kekang leherku menuju ke bahu kiri dan melakukan ikatan yang sama dengan lengan kananku tadi. Kini aku merangkak dengan agak menungging, karena bagian tangan yang menyentuh tanah adalah siku, tidak telapak tangan seperti semula.
Setelah semua beres, sambil tertawa dibukanya pintu kandang, "Ha, ha, ha.. Ayo masuk, jangan malu-malu-malu!" perintahnya sambil menendang pinggulku. Aku terdorong memasuki kandang. Dengan agak ragu kuteruskan merangkak hingga seluruh tubuhku berada di dalam kandang. Dijulurkannya tangannya ke dalam kandang memungut rantai yang terhubung ke kemaluanku, lalu melemparkannya ke arah dalam melalui bawah perutku. Setelah itu dia menutup pintu kandang, dan mengunci gemboknya. Ternyata ukuran kandang itu pas benar, sehingga aku tidak dapat menggerakkan badan untuk maju, mundur, atau merenggangkan badan. Lalu dia berputar ke ujung kandang di bagian depanku. Dirogohkannya tangan memungut ujung rantai yang dilemparkannya tadi dan membelitkannya pada jeruji kandang di hadapanku. Ditariknya rantai tersebut hingga terentang agak tegang, dan kemudian mengaitkan gembok menguncinya.
"Selamat menikmati rumah baru, ha, ha, ha! Tidur yang nyenyak, ya? Kamu harus memulihkan tenaga untuk permainan besok, ha, ha, ha!" katanya sambil melangkah pergi meninggalkan kandang, kembali ke dalam rumah. Terdengar langkahnya kian menjauh dan diakhiri dengan derit pintu belakang yang ditutupnya.
Tinggallah kini aku sendirian di keheningan malam. Meringkuk telanjang bulat di dalam kandang anjing di luar rumah, di halaman belakang. Dinginnya embun malam menusuk kulit hingga ke tulang. Aku merenung membayangkan apa yang akan terjadi besok. Tapi renunganku kerap terganggu oleh dengingan nyamuk ditelinga, maupun rasa perih akibat gigitannya. Aku berusaha menghindar dengan menggerak-gerakkan badan, namun hal ini membuat kemaluanku tersentak-sentak, sementara tanganku tak mampu bergerak. Akhirnya aku pasrah saja terhadap setiap serangan nyamuk-nyamuk keparat itu. Rasa pegal dan kesemutan menjalari setiap seluk tubuhku. Aku terus membayangkan peran-peran apa lagi yang akan kumainkan di hari-hari berikutnya? Siksaan apa? Hinaan apa? "Ah.. nikmatnya..!" lamunku. Fantasiku mengembara makin jauh, hingga akhirnya tanpa sadar aku pun terlelap dalam ketakberdayaan yang nikmat ini.